KERAJAAN ISLAM DI PULAU
JAWA
1. Kerajaan
Islam Demak
Kerajaan Islam Demak didirikan oleh Raden Patah atau
yang dikenal dengan sebutan Pangeran Jimbun. Ia adalah keturunan Prabu
Kertabumi Brawijaya V (1468-1478). Ia memerintah pada tahun 1500-1518 M.
Awalnya Demak sebagai pusat pengajaran agama yang didirikan Raden Patah, Ia
membuka pesantren pada tahun 1475 M atas perintah Sunan Ampel. Dalam
perkembangan berikutnya, demak menjadi pusat perdagangan dan akhirnya menjadi
kerajaan Islam, Setelah meninggal pada tahun 1518 M, posisinya digantikan oleh
anaknya yang bernama Adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor (1518-1521 M)
Sebelum menjadi raja adipati Unus menjabat sebagai
Adipati Jepara. Ketika itu ia telah berhasil menaklukan Bangka dan daerah
pantai barat pulau Kalimantan. Kemudian pada tahun 1512-1513 M adipati Unus pernah
menyerang portugis di Malaka, akan tetapi ia gagal. Tidak banyak yang dilakukan
Adipati Unus selama menjadi raja, kecuali mengatasi berbagai pemberotakan yang
terjadi pada beberapa daerah taklukan, keadaan ini terus berlangsung hingga ia
wafat pada tahun 1521 M.
Setelah Adipati Unus wafat, posisinya digantikan
oleh Sultan Trenggono (1521-1546 M). Pada masa tersebut datang seorang
muballigh dari Samudera Pasai yang bernama Fadillah atau Fadhilah Khan. Di
demak Fatahillah menjadi guru agama dilingkungan Istana Selain itu ia juga
sebagai penasihat sultan dan panglima tentara Demak. Kemudian Fatahillah
dikawinkan dengan adik Sultan Trenggono yaitu Nyai Ratu Pembayun.
Portugis pada tahun 1522 M telah memasuki wilayah
Sunda Kelapa. Kedatangan portugis dikhawatirkan tidak hanya akan terjadi
pengambilalihan jalur perdagangan, juga penyebaran agama Kristen yang akan
menghancurkan kekuatan Islam. Oleh karena itu, ketika pajajaran menjalin
hubungan dengan Portugis, kerajaan Demak semakin khawatir, kekhawatiran itu
semakin menjadi ketika Pajajaran memberikan wewenang kepada Portugis untuk
mendirikan benteng di Sunda Kelapa.Untuk mengantisipasi kekuatan Portugis agar
tidak menyebar ke wilayah lain, maka pada tahun 1526 M Sultan Trenggono
menyiapkan tentaranya untuk menyerang Banten dan Sunda Kelapa. Sultan Trenggono
mengirim tentara dalam dua angkatan, yaitu angkatan darat dan angkatan laut
dibawah pimpinan Fatahillah.
Dalam perjalanannya, tentara demak singgah di
Cirebon. Disana, Fatahillah bertemu dengan Sunan Gunung Jati atau Syarif
Hidayatullah, yang merupakan menantunya sendiri, Dalam kesempatan tersebut,
Fatahillah memperoleh bantuan bala tentara, sehingga pasukan Demak pun
bertambah dengan persenjataan yang cukup lengkap.
Sebelum menyerang Sunda Kelapa. Fatahillah terlebih
dahulu menyerang banten dan pelabuhan
Banten pun dapat ditaklukan pada tahun 1526 M tanpa banyak perlawanan. Setahun
kemudian Fatahillah baru memulai serangannya menuju Sunda Kelapa, Meskipun
Pasukan tentara Demak mendapat perlawanan dari pasukan pajajaran di daratan,
dan serangan Portugis dari laut, Keduanya dapat dikalahkan oleh pasukan Demak.
Pasukan Fransisco de Sa melarikan diri ke Malaka. Dengan demikian ,Banten dan
Sunda Kelapa dapat ditaklukan oleh Demak dan menjadi bagian dari kerajaan Islam
Demak. Sunda Kelapa ditaklukan pada tanggal 22 Juni 1527 M.
Usaha perluasan wilayah ke Timur dilakukan oleh
Sultan Trenggono pada tahun 1546 M. Dalam serangan ke Jawa Timur ini, Sultan Trenggono
gugur, sehingga pasukan Demak mengundurkan diri dan kembali ke Demak.
Sepeninggal Sultan Trenggono, posisinya digantikan oleh anaknya yang bernama
Sultan Prawoto yang hanya memerintah selama satu tahun, karena ia terbunuh.
Pada masa pemerintahan Sultan Trenggono, penyebaran
Islam memperoleh perhatian besar. Masjid Demak yang dibangun oleh Raden Patah,
dipugar kembali oleh Sultan Trenggono. Dan pada masa ini, hidup empat wali yang
tergabung dalam Wali Songo, yaitu:
1) Sunan
Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)
2) Sunan
Kudus (Syekh Ja’far Shadiq)
3) Sunan Kalijaga (Raden
Mas Joko Sa’id)
4) Sunan
Muria (Raden Prawoto) atau
kadang-kadang disebut juga Raden Umar Said
2. Kerajaan
Islam Pajang
Kesultanan Pajang merupakan kelanjutan dari
kesultanan Demak. Kesultanan yang berada si daerah Kartasura sekarang,
merupakan kerajaan Islam pertama yang berada di pedalaman Jawa. Usia kesultanan
ini tidak lama, karena akhirnya diambil alih oleh kerajaan Mataram.
Sultan atau raja pertama dari kerajaan Pajang adalah
Jaka Tingkir, menantu Sultan Trenggono. Ia berasal dari Pengging, sebuah desa
di lereng Gunung Merapi. Ia diangkat oleh mertuanya menjadi penguasa Pajang.
Setelah Sultan Trenggono wafat pada tahun 1546 M, di Demak terjadi perebutan
kekuasaan. Jaka Tingkir yang telah menjadi penguasa di kerajaan Pajang, segera
mengambil alih kekuaaan, karena pewaris tahta kerajaan bernama Sunan Prawoto
tewas di bunuh oleh Aria Penangsang, kemenakannya sendiri yang ketika itu
menjadi penguasa Jipang. Setelah mengambil alih kekuasaan, Jaka Tingkir meminta
agar semua pusaka kerajaan dipindahkan ke kerajaan Pajang. Jaka Tingkir yang
bergelar Sultan Adiwijaya, adalah seorang penguasa yang sangat berpengaruh pada
masa itu. Pada masanya, Islam berkembang dengan pesat terutama di pedalaman.
Karena pindahnya pusat kekuasaan dari pesisir ke pedalaman Pulau Jawa.
Pada masanya, Jaka Tingkir berusaha memperluas
wilayah kekuasaannya ke pedalaman, hingga ke arah timur daerah Madiun, di
aliran anak sungai Bengawan Solo. Setelah itu, secara berturut-turut ia dapat
menaklukan Blora tahun 1554 M, dan Kediri pada tahun 1577 M. kemudian pada
tahun1581 M, Jaka Tingkir mendapat pengakuan sebagai raja Islam dari raja-raja
yang berkuasa di Jawa Timur. Pada masa kepemimpinannya terdapat pula
perkembangan peradaban Islam di Jawa, terutama sastra dan kesenian yang memang
sebelumnya telah maju pada masa kerajaan Demak.
Sultan Pajang meninggal pada tahun 1587 M, setelah
berkuasa selama 41 tahun. Ia dimakamkan di desa Butuh, sebelah barat taman
kerajaan Pajang. Posisinya sebagai raja di kerajaan Pajang digantikan oleh
menantunya bernama Aria Pangiri (Sultan Ngawantipura). Sementara anak Jaka
Tingkir bernama Pangeran Benawa (Sultan Prabuwijaya) diangkat sebagai penguasa
di Jipang. Pangeran Benawa merasa tidak puas karena keinginannya menjadi raja.
Untuk itu, ia meminta bantuan kepada Senopati Mataram, untuk mengusir Aria
Pangiri dari Pajang. Maka pada tahun 1588 M, usaha itu berhasil. Sebagai balas
jasa, tahta itu akan diserahkan kepada Senopati Mataram. Tetapi Senopati tidak dapat
meninggalkan Mataram. Ia menginginkan agar pusaka kerajaan dibawa ke Mataram
sebagai symbol penyerahan kekuasaan. Meskipun begitu, pengeran Benowo tetap
menjadi raja yang berada di bawah perlindungan Mataram.
Perjalanan sejarah kerajaan Pajang berakhir pada
tahun 1618 M, Ketika Pajang berusaha melawan kekuatan Mataram pada masa
pemerintahan Sultan Agung. Rajanya melarikan diri ke Giri dan Surabaya.
3. Kerajaan
Islam Mataram
Kerajaan Mataram Islam, Kerajaan ini dipimpin suatu dinasti keturunan Ki Ageng Sela dan Ki Ageng Pemanahan, yang mengklaim sebagai
suatu cabang ningrat keturunan penguasa Majapahit.
Asal-usulnya adalah suatu Kadipaten di bawah Kesultanan Pajang,
berpusat di "Bumi Mentaok" yang diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan
sebagai hadiah atas jasanya. Raja berdaulat pertama adalah Sutawijaya (Panembahan Senapati), putra dari Ki
Ageng Pemanahan.
Sutawijaya,
ia memerintah dari tahun 1575-1601. Penguasa kerajaan Mataram Islam selanjutnya
adalah Masjolang atau Panembahan Sedo Krapyak. Ia memerintah dari tahun
1601-1613. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Mataram Islam terus menaklukkan
daerah-daerah pantai di sekitarnya. Namun, ia gugur dalam usahanya menyatukan
Kerajaan Mataram Islam.
Raja
Mataram Islam berikutnya adalah Sultan Agung Hanyokrokusumo. Ia memerintah di
Mataram dari tahun 1613-1645. Ia merupakan raja terbesar Kerajaan Mataram Islam
yang mempunyai cita-cita menyatukan Pulau Jawa. Pada masa Sultan Agung
perdagangan di Mataram Islam semakin melemah, sehingga pelayaran dan
perdagangan
menjadi mundur. Pada tahun 1628-1629, Sultan Agung ingin menguasai Batavia, ia
pun mengirim pasukan yang dipimpin oleh Baureksa dan dibantu oleh Adipati Ukur
serta Suro Agul-Agul, tapi usaha itu gagal. Sultan Agung wafat pada tahun 1645
dan dimakamkan di Imogiri.
Beliau
digantikan oleh putranya yang bergelar Amangkurat I. Amangkurat memerintah dari
tahun 1645-1677. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Mataram menjalin
hubungandengan Belanda, orang-orang Belanda diperkenankan untuk membangun
Benteng dikerajaan Mataram. Namun, pendirian benteng dan tindakan sewenang-wenanganBelanda
akhirnya menyulutkan rasa tidak puas dari beberapa kalangan di KerajaanMataram
terhadap pemerintahan Amangkurat I. Di antaranya dari PangeranTrunajaya dari
Madura dengan dibantu para bupati di daerah pesisir pantai, Pangeran Trunajaya
melakukan pemberontakan.
Dalam
peperangan di ibu kota Kerajaan Mataram, Amangkurat I menderita luka-lula. Ia
dilarikan ke Tegalwangi dan meninggal disana. Pemberontakantersebut akhirnya
dapat di padamkan olehBelanda. Raja Amangkurat I wafat dan digantikan oleh
Amangkurat II. Ia memerintah dari tahun 1677-1703. Pada masa pemerintahannya,
Belanda menguasai hamper sebagian besar wilayah Kerajaan Mataram. Amangkurat II
sendiri menyingkir ke daerah pedesaan dan mendirikan ibu kota Kerajaan Mataram
baru di desa Wonokerto yang diberi nama Kartasura. Amangkurat II wafatpada
tahun 1703.
Setelah
Amangkurat II wafat, berdasarkan perjanjian Giyanti pada tahun 1755, Kerajaan
Mataram terbagi menjad dua, yaitu daerah kesultanan Yogyakrta yang di perintah
oleh Raja Mangkubumi yang bergelar Hamengkubuwono I, dan kesultanan Surakarta
diperintah oleh Susuhunan Pakubowono III. Pada tahun 1757, berdasarkan
perjanjian Salatiga, Kerajaan Mataram dipecah lagi menjadi tiga daerah, yaitu
Kesultanan Yogyakarta, Kasuhunan Surakarta, dan Mangkunegara. Daerah
Mangkunegara diperintah oleh Mas Said yang bergelar Pangeran Adipati Arya
Mangkunegara.
Pada
tahun 1813, Kesultanan Yogyakarta dibagi menjadi dua kerajaan, yaitu kesultanan
Yogyakarta dan kerajaan Pakualaman. Kerajaan Pakualaman diperintah oleh Paku
Alam yang semula adalah Adipati Kesultanan Yogyakarta. Dengan demikian kerajaan
Mataram akhirnya terbagi menjadi empat kerajaan kecil, yakni Kesultanan
Yogyakarta, Kesuhunan Surakarta, Kerajaan Mangkunegara dan kerajaan Pakualaman.
Kehidupan
ekonomi kerajaan Mataram Islam adalah agraris yang banyak menghasilkan beras
dan kemudian hasilnya diekspor ke Kerajaan Malaka, Untuk meningkatkan hasil
produksi beras Sultan Agung memindahkan para petani ke daerah Karawang yang
subur hal ini dilakukan
juga untuk persiapan menyerang Batavia.
Peristiwa penting
Ø
1558 - Ki Ageng Pemanahan dihadiahi wilayah Mataram oleh Sultan Pajang
Adiwijaya atas jasanya mengalahkan Arya Penangsang.
Ø
1577 - Ki Ageng
Pemanahan membangun istananya di Pasargede atau Kotagede.
Ø
1584 - Ki Ageng
Pemanahan meninggal. Sultan Pajang mengangkat Sutawijaya,
putra Ki Ageng Pemanahan sebagai penguasa baru di Mataram, bergelar
"Ngabehi Loring Pasar" (karena rumahnya di utara pasar).
Ø
1587 - Pasukan Kesultanan Pajang yang
akan menyerbu Mataram porak-poranda diterjang badai letusan Gunung Merapi.
Sutawijaya dan pasukannya selamat.
Ø
1588 - Mataram menjadi
kerajaan dengan Sutawijaya sebagai Sultan, bergelar
"Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama" artinya Panglima Perang dan Ulama Pengatur
Kehidupan Beragama.
Ø
1601 - Panembahan Senopati wafat dan digantikan
putranya, Mas Jolang yang bergelar Panembahan Hanyakrawati dan
kemudian dikenal sebagai "Panembahan Seda ing Krapyak" karena wafat
saat berburu (jawa: krapyak).
Ø
1613 - Mas Jolang
wafat, kemudian digantikan oleh putranya Pangeran Aryo Martoputro. Karena sering sakit,
kemudian digantikan oleh kakaknya Raden Mas Rangsang.
Gelar pertama yang digunakan adalah Panembahan Hanyakrakusuma atau "Prabu
Pandita Hanyakrakusuma". Setelah Menaklukkan Madura beliau menggunakan
gelar "Susuhunan Hanyakrakusuma". Terakhir setelah 1640-an beliau
menggunakan gelar bergelar "Sultan Agung Senapati Ingalaga Abdurrahman"
Ø
1645 - Sultan Agung wafat
dan digantikan putranya Susuhunan Amangkurat I.
Ø
1645 - 1677 - Pertentangan
dan perpecahan dalam keluarga kerajaan Mataram, yang dimanfaatkan
oleh VOC.
Ø
1677 - Trunajaya
merangsek menuju Ibukota Pleret. Susuhunan Amangkurat I mangkat. Putra Mahkota
dilantik menjadi Susuhunan Amangkurat II di pengasingan. Pangeran Puger yang
diserahi tanggung jawab atas ibukota Pleret mulai memerintah dengan gelar
Susuhunan Ing Ngalaga.
Ø
1681 - Pangeran Puger
diturunkan dari tahta Pleret.
Ø
1703 - Susuhunan
Amangkurat III wafat. Putra mahkota diangkat menjadi Susuhunan Amangkurat III.
Ø
1704 - Dengan
bantuan VOC Pangeran
Puger ditahtakan sebagai Susuhunan Paku Buwono I. Awal Perang Tahta I (1704-1708). Susuhunan
Amangkurat III membentuk pemerintahan pengasingan.
Ø
1719 - Susuhunan Paku
Buwono I meninggal dan digantikan putra mahkota dengan gelar Susuhunan
Amangkurat IV atau Prabu Mangkurat Jawa. Awal Perang Tahta II (1719-1723).
Ø
1726 - Susuhunan
Amangkurat IV meninggal dan digantikan Putra Mahkota yang bergelar Susuhunan
Paku Buwono II.
Ø
1742 - Ibukota
Kartasura dikuasai pemberontak. Susuhunan Paku Buwana II berada dalam
pengasingan.
Ø
1743 - Dengan bantuan
VOC Ibukota Kartasura berhasil direbut dari tangan pemberontak dengan keadaan
luluh lantak. Sebuah perjanjian sangat berat (menggadaikan kedaulatan Mataram
kepada VOC selama belum dapat melunasi hutang biaya perang) bagi Mataram dibuat
oleh Susuhunan Paku Buwono II sebagai imbalan atas bantuan VOC.
Ø
1745 - Susuhunan Paku
Buwana II membangun ibukota baru di desa Sala di tepian Bengawan Beton.
Ø
1746 - Susuhunan Paku
Buwana II secara resmi menempati ibukota baru yang dinamai Surakarta. Konflik
Istana menyebabkan saudara Susuhunan, P. Mangkubumi, meninggalkan istana.
Meletus Perang Tahta III yang berlangsung lebih dari 10 tahun (1746-1757) dan mencabik
Kerajaan Mataram menjadi dua Kerajaan besar dan satu kerajaan kecil.
Ø
1749 - 11 Desember Susuhunan
Paku Buwono II menandatangani penyerahan kedaulatan Mataram kepada VOC. Namun
secara de facto Mataram baru dapat ditundukkan sepenuhnya pada 1830. 12 Desember Di
Yogyakarta, P. Mangkubumi diproklamirkan sebagai Susuhunan Paku Buwono oleh
para pengikutnya. 15 Desember van Hohendorff mengumumkan Putra Mahkota
sebagai Susuhunan Paku Buwono III.
Ø
1752 - Mangkubumi
berhasil menggerakkan pemberontakan di provinsi-provinsi Pasisiran (daerah
pantura Jawa) mulai dari Banten sampai Madura. Perpecahan Mangkubumi-RM Said.
Ø
1754 - Nicolas
Hartingh menyerukan gencatan senjata dan perdamaian. 23 September,
Nota Kesepahaman Mangkubumi-Hartingh. 4 November,
PB III meratifikasi nota kesepahaman. Batavia walau keberatan tidak punya
pilihan lain selain meratifikasi nota yang sama.
Ø
1755 - 13 Februari Puncak
perpecahan terjadi, ditandai dengan Perjanjian Giyanti yang membagi Kerajaan
Mataram menjadi dua, yaitu Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Pangeran Mangkubumi menjadi Sultan atas Kesultanan Yogyakarta dengan gelar
"Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing-Ngalaga
Ngabdurakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah" atau lebih populer dengan
gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I.
Ø
1757 - Perpecahan
kembali melanda Mataram. R.M. Said diangkat sebagai penguasa atas sebuah
kepangeranan, Praja Mangkunegaran yang terlepas dari
Kesunanan Surakarta dengan gelar "Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya
Mangku Nagara Senopati Ing Ayudha".
Ø
1788 - Susuhunan Paku
Buwono III mangkat.
Ø
1792 - Sultan
Hamengku Buwono I wafat.
Ø
1795 - KGPAA Mangku
Nagara I meninggal.
Ø
1799 - Voc dibubarkan
Ø
1813 - Perpecahan
kembali melanda Mataram. P. Nata Kusuma diangkat sebagai penguasa atas sebuah
kepangeranan, Kadipaten Paku Alaman yang terlepas dari
Kesultanan Yogyakarta dengan gelar "Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Paku
Alam".
Ø
1830 - Akhir perang
Diponegoro. Seluruh daerah Manca nagara Yogyakarta dan Surakarta dirampas
Belanda. 27 September, Perjanjian Klaten menentukan tapal yang tetap
antara Surakarta dan Yogyakarta dan membagi secara permanen Kerajaan Mataram
ditandatangani oleh Sasradiningrat, Pepatih Dalem Surakarta, dan Danurejo,
Pepatih Dalem Yogyakarta. Mataram secara de facto dan de yure dikuasai oleh
Hindia Belanda.
4.
Kerajaan
Islam Cirebon
Kesultanan islam
cirebon merupakan kerajaan islam pertama di Jawa Barat, kesultanan Cirebon juga
merupakan kerajaan ternama di Jawa Barat pada abad ke-15 dan 16 Masehi, dan
merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antar pulau.
Lokasinya di pantai utara pulau Jawa yang merupakan perbatasan antara Jawa
Tengah dan Jawa Barat, membuatnya
menjadi pelabuhan dan "jembatan" antara kebudayaan Jawa dan Sunda
sehingga tercipta suatu kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang
tidak didominasi kebudayaan Jawa maupun
kebudayaan Sunda. Kerajaan ini didirikan oleh Sunan Gunung Jati.
Cirebon pada awalnya
adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan
berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban
(Bahasa Sunda: campuran), karena di sana bercampur para pendatang dari berbagai
macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, dan mata pencaharian yang
berbeda-beda untuk bertempat tinggal atau berdagang.
Mengingat pada awalnya
sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah sebagai nelayan, maka
berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang
pantai serta pembuatan terasi, petis, dan garam. Dari istilah air bekas
pembuatan terasi (belendrang) dari udang rebon inilah berkembanglah
sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda:, air rebon) yang kemudian menjadi Cirebon.
Dengan dukungan
pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon kemudian
menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir
utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara
maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal
bakal pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.
Daerah kecil ini dulu
berada di bawah kekuasaan Pakuan Pajajaran. Raja pejajaran hanya menempatkan
seorang juru labuhan yang bernama Pangeran Walangsungsang. Ketika berhasil
memajukan cirebon, ia telah memeluk agama Islam. Akan tetapi orang berhasil
meninggikan status kerajaaan adalah Sunan Gunung Jati, pengganti dan kemenakan
dari WalangSungsang.
Selain kemenakan, Sunan
Gunung jati juga memiliki hubungan darah dengan raja pajajaran yang bernama
Prabu siliwangi. Pada tahun 1479 M, kedudukannya kemudian digantikan putra
adiknya, Nyai Rarasantang dari hasil perkawinannya dengan Syarif Abdullah dari
Mesir, yakni Syarif Hidayatullah (1448-1568) yang setelah wafat dikenal dengan
sebutan Sunan Gunung Jati dengan gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin
Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula sebagai Ingkang
Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid
Jaman Khalifatur Rasulullah.
Pertumbuhan dan
perkembangan yang pesat pada Kesultanan Cirebon dimulailah oleh Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati kemudian diyakini
sebagai pendiri dinasti raja-raja Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten
serta penyebar agama Islam di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali
(Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten. Setelah Sunan Gunung Jati wafat, terjadilah
kekosongan jabatan pimpinan tertinggi kerajaan Islam Cirebon. Pada mulanya
calon kuat pengganti Sunan Gunung Jati ialah Pangeran Dipati Carbon, Putra
Pangeran Pasarean, cucu Sunan Gunung Jati. Namun, Pangeran Dipati Carbon
meninggal lebih dahulu pada tahun 1565.
Dari Cirebon sunan
Gunung Jati menyebarkan Islam ke daerah-daerah lain di jawa barat seperti
Majalengka,Kuningan,Kawali (Galuh),Sunda kelapa dan Banten. Ketika ia kembali
ke Cirebon, Banten diserahkan kepada anaknya yang bernama Sultan Hasanudin.
Setelah Gunung Jati
wafat, Posisinya digantikan oleh cicitnya yang bernama Pangeran Ratu atau
Panembahan Ratu.
5.
Kerajaan
Islam Banten
Kesultanan Banten didirikan oleh Sunan Gunung Jati
pada tahun 1526 atas bantuan Fatahilah, yang tengah memimpin tentara Demak dan
Cirebon guna merebut wilayah Pajajaran dan penyebaran Islam di Jawaa Barat.
Kerika akan kembali ke Cirebon, Banten diserahkan kepada putranya bernama
Sultan Hasanudin.
Berkembangnya kerajaan Islam di Banten didorong oleh
banyaknya kapal pedagang yang lewat diperairan Banten. Banten yang terletak di
ulau Jawa bagian barat, dekat Selat Sunda menjadi daerah strategis, terutama
sejak kejatuhan Portugis pada tahun 1511. Sejak itu, banyak saudagar Islam yang
membawa barang dagangannya dari wilayah Indonesia bagian timur, tidak mau lagi
singgah di Malaka. Mereka tidak mau berniaga dengan orang Portugis yang berlain
agama. Dengan demikian, secara perlahan namn pasti, Banten menjadi tempat
persinggahan pertama bagi para pedagang yang datang dari berbagai penjuru.
Sultan Hasanudin memerintah pada tahun 1552-1570 M,
mula-mula Banten berada dalam kekuasaan Kerajaan Demak tetapi ketika di Demak
terjadi kekacauan, Sultan Hasandin menyatakan Banten bebas dari kekuasaan raja
Demak. Pada masa Hasanudin terjadi penyebaran Islam ke daerah Lampung. Selain
itu, juga terjadi hubungan persahabatan dengan Sultan Aceh yang menguasai
wilayah Indrapura. Bahkan hubungan itu diperkuat dengan pernikahan Sultan
Hasanudin dengan putri Indrapura. Setelah beberapa lama, perkembangan agama
Islam di Lampung dan Bengkulu makin maju. Masjid-masjid dan tempat pendidikan
Islam bermunculan di kedua daerah itu.
Setelah Sultan Hasanudin wafat pada tahun 1570,
pemerintahan di lanutkan oleh anaknya yang bernama Maulana Yusuf. Ia memerintah
sejak tahun 1570-1580. Pada tahun 1579, Maulana yusuf mulai melakukan
penyebaran agama Islam ke wilayah Pajajaran Raja Pajajaran yang terahir bernama
Prabu Sedah meninggal dunia, ketika menahan serangan tentara Banten yang
dipimpin oleh Sultan Maulana Yusuf. Dengan demikian, berakhirlah Kerajaan
Hindu-Budha di Jawa Barat. Setelah sukses menguasai wilayah jawa Barat, pada
tahun 1580, Maulana Yusuf meninggal dunia, posisinya digantikan oleh putranya
bernama Maulana Muhammad.
Maulana Muhammad sebagai Sultan Banken ke III,
memerintah tahun 1580-1596 M. Ia bergelar Kanjeng Ratu Banten, naik tahta
berusia 9 tahun. Oleh Karena itu, Kerajaan dipegang oleh Mengkubumi dibantu
oleh Tuan Kadi Besar. Pada tahun 1596 M, sewaktu berusia 25 tahun, Maulana
Muhammad mulai memegang kekuasaanya sendiri. Pada waktu itu, ia juga mengadakan
serangan terhadap Kerajaan Islam Palembang yang Ki Gede Ing Suro (Kiai Gede
Suro). Hal ini terjadi karena hasutan Pangeran Mas, putra Aria Pangiri yang
masih kemenakannya sendiri. Ki Gede Ing Suro memerintah Palembang sebagai
Adipati yang setia kepada kerajaan Islam Mataram. Dalam penyerangan ke
Palembang ini, Maulana Muhammad tewas terbunuh.
Setelah Maulana Muhammad wafat, yang menjadi Sultan
Banten ialah putranya yang bernama Abdul Mafakhir. Karena masih bayi, maka
pemerintaha dipegang oleh Mengkubumi Ranamanggala. Ia menjadi wali banten tahun
1608-1624. Pada masa Ranamanggala, banten mencapai kebesaran dan kejayaannya. Pada
waktu itu, Banten mempunyai pelabuhan dagang yang besar, yaitu Banten dan
Jayakarta. Untuk menjalankan pemerintaha di wilayah Jayakarta, Ranamanggala
mengangkat Wijayakrama sebagai Adipati.
Ketika itu, pelabuha Jayakarta sudah ramai
dikunjungi bangsa Eropa, seperti Belanda, Inggris, portugis dan lain-lain. Pada
waktu Belanda akan mendirikan loji di Banten, Ranamanggala menolaknya. Kemudian
belanda meminta izin pada Wijayakrama untuk mendirikan loji di Jayakarta dan
Wijayakrama mengizinkannya. Akhirnya pada tahun 1612 M berdirilah loji Belanda
di Jayakarta, letaknya ditepi Sungai Ciliwung berhadapan dengan loji Inggris.
Pada tahun 1618 M Belanda mengusir Inggris dari
Jayakarta. Tindakan ini dibiarkan oleh Wijayakrama dan kenyataan Belanda
semakin sewenang-wenang. Hal ini diketahui oleh Ranamanngala, maka Wijayakrama
ditangkap dan dibawa ke Banten pada tahun 1619 M untuk ditahan, karena
membiarkan perbuatan Belanda.
Tindakan Ra namanggala ini membuat Belanda merasa
khawatir. Untuk itu, maka Jan Pieter Z. Coen memintan bantuan tentara Belanda
yang ada di Ambon. Bantuan dikirim dengan jumlah personil sekitar 1000 orang.
Bantuan ini dimanfaatkan oleh JP. Coen untuk menyerang Jayakarta. Maka pada
tahun 1619 M, kota Jayakarta dibakar sampai habis, dan diatas reruntuhannya
dbangun kota baru dengan nama Batavia.
Pada tahun 1624 M, Ranamanggala wafat, sehingga
keadaan Banten menjadi lemah dan mulai
bangkit lagi ketika dipegang oleh Abdul Fatah yang dikenal dengan sebutan
Sultan Ageng Tirtayasa yang memerintah 1651-1682 M. Sultan Ageng Tirtayasa
sangat anti Belanda. Sikapnya ini didukung oleh Syekh Yusuf Al-Makassary,
seorang ulama dari Makasar, yang melarikan diri ke Banten karena Maksar
diserang belanda pada tahun 1667 M. tapi sikapnya ini tidak disetujui oleh anaknya
Abdul Kahar, yang terkenal dengan sebutan Sultan Haji.
Perselisihan paham antara Sultan Ageng Tirtayasa
dengan anaknya, Sultan Haji dimanfaatkan Belanda untuk menyerang Banten. Untuk
melawan ayahnya, Sultan Haji meminta bantuan Belanda dan perminaan ini dikabulkan.
Oleh karena itu, pada tahun 1681 M, terjadilah peperangan yang sangat hebat.
Dalam pertempuran itu, kemenangan berada di tangan Sultan Haji, karena dia
mendapat bantuan dari Belanda. Sultan Ageng Tirtayasa ditangkap dan dibawa ke
Batavia pada tahun 1683 M kemudian meninggal pada tahun 1692 dalam tahanan
Belanda.
Setelah itu, pemerintahan berada ditangan Sultan
Haji yang pro Belanda. Tetapi dibawah pemerintahannya, Banten tidak berkembang,
karena selalu diatur Belanda. Oleh karena itu, ketika Deandels menjadi Gubernur
Jendral di Indonesia pad tahun 1801-1811 M, kerajaan Islam Banten dihapuskan.
Sejak itu, kerajaan Islam Banten tidak terdengar lagi dalam percaturan dunia
Islam, khususnya di Nusantara.
0 komentar:
Posting Komentar