Senin, 26 Mei 2014

Edukasi : Kerajaan Islam Di Pulau Jawa


KERAJAAN ISLAM DI PULAU JAWA

1.     Kerajaan Islam Demak
Kerajaan Islam Demak didirikan oleh Raden Patah atau yang dikenal dengan sebutan Pangeran Jimbun. Ia adalah keturunan Prabu Kertabumi Brawijaya V (1468-1478). Ia memerintah pada tahun 1500-1518 M. Awalnya Demak sebagai pusat pengajaran agama yang didirikan Raden Patah, Ia membuka pesantren pada tahun 1475 M atas perintah Sunan Ampel. Dalam perkembangan berikutnya, demak menjadi pusat perdagangan dan akhirnya menjadi kerajaan Islam, Setelah meninggal pada tahun 1518 M, posisinya digantikan oleh anaknya yang bernama Adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor (1518-1521 M)
Sebelum menjadi raja adipati Unus menjabat sebagai Adipati Jepara. Ketika itu ia telah berhasil menaklukan Bangka dan daerah pantai barat pulau Kalimantan. Kemudian pada tahun 1512-1513 M adipati Unus pernah menyerang portugis di Malaka, akan tetapi ia gagal. Tidak banyak yang dilakukan Adipati Unus selama menjadi raja, kecuali mengatasi berbagai pemberotakan yang terjadi pada beberapa daerah taklukan, keadaan ini terus berlangsung hingga ia wafat pada tahun 1521 M.
Setelah Adipati Unus wafat, posisinya digantikan oleh Sultan Trenggono (1521-1546 M). Pada masa tersebut datang seorang muballigh dari Samudera Pasai yang bernama Fadillah atau Fadhilah Khan. Di demak Fatahillah menjadi guru agama dilingkungan Istana Selain itu ia juga sebagai penasihat sultan dan panglima tentara Demak. Kemudian Fatahillah dikawinkan dengan adik Sultan Trenggono yaitu Nyai Ratu Pembayun.
Portugis pada tahun 1522 M telah memasuki wilayah Sunda Kelapa. Kedatangan portugis dikhawatirkan tidak hanya akan terjadi pengambilalihan jalur perdagangan, juga penyebaran agama Kristen yang akan menghancurkan kekuatan Islam. Oleh karena itu, ketika pajajaran menjalin hubungan dengan Portugis, kerajaan Demak semakin khawatir, kekhawatiran itu semakin menjadi ketika Pajajaran memberikan wewenang kepada Portugis untuk mendirikan benteng di Sunda Kelapa.Untuk mengantisipasi kekuatan Portugis agar tidak menyebar ke wilayah lain, maka pada tahun 1526 M Sultan Trenggono menyiapkan tentaranya untuk menyerang Banten dan Sunda Kelapa. Sultan Trenggono mengirim tentara dalam dua angkatan, yaitu angkatan darat dan angkatan laut dibawah pimpinan Fatahillah.
Dalam perjalanannya, tentara demak singgah di Cirebon. Disana, Fatahillah bertemu dengan Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, yang merupakan menantunya sendiri, Dalam kesempatan tersebut, Fatahillah memperoleh bantuan bala tentara, sehingga pasukan Demak pun bertambah dengan persenjataan yang cukup lengkap.
Sebelum menyerang Sunda Kelapa. Fatahillah terlebih dahulu menyerang banten  dan pelabuhan Banten pun dapat ditaklukan pada tahun 1526 M tanpa banyak perlawanan. Setahun kemudian Fatahillah baru memulai serangannya menuju Sunda Kelapa, Meskipun Pasukan tentara Demak mendapat perlawanan dari pasukan pajajaran di daratan, dan serangan Portugis dari laut, Keduanya dapat dikalahkan oleh pasukan Demak. Pasukan Fransisco de Sa melarikan diri ke Malaka. Dengan demikian ,Banten dan Sunda Kelapa dapat ditaklukan oleh Demak dan menjadi bagian dari kerajaan Islam Demak. Sunda Kelapa ditaklukan pada tanggal 22 Juni 1527 M.      
Usaha perluasan wilayah ke Timur dilakukan oleh Sultan Trenggono pada tahun 1546 M. Dalam serangan ke Jawa Timur ini, Sultan Trenggono gugur, sehingga pasukan Demak mengundurkan diri dan kembali ke Demak. Sepeninggal Sultan Trenggono, posisinya digantikan oleh anaknya yang bernama Sultan Prawoto yang hanya memerintah selama satu tahun, karena ia terbunuh.
Pada masa pemerintahan Sultan Trenggono, penyebaran Islam memperoleh perhatian besar. Masjid Demak yang dibangun oleh Raden Patah, dipugar kembali oleh Sultan Trenggono. Dan pada masa ini, hidup empat wali yang tergabung dalam Wali Songo, yaitu:
1)   Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)
2)   Sunan Kudus          (Syekh Ja’far Shadiq)
3)   Sunan  Kalijaga      (Raden Mas Joko Sa’id)
4)   Sunan Muria           (Raden Prawoto) atau kadang-kadang disebut juga Raden Umar Said

2.     Kerajaan Islam Pajang
Kesultanan Pajang merupakan kelanjutan dari kesultanan Demak. Kesultanan yang berada si daerah Kartasura sekarang, merupakan kerajaan Islam pertama yang berada di pedalaman Jawa. Usia kesultanan ini tidak lama, karena akhirnya diambil alih oleh kerajaan Mataram.
Sultan atau raja pertama dari kerajaan Pajang adalah Jaka Tingkir, menantu Sultan Trenggono. Ia berasal dari Pengging, sebuah desa di lereng Gunung Merapi. Ia diangkat oleh mertuanya menjadi penguasa Pajang. Setelah Sultan Trenggono wafat pada tahun 1546 M, di Demak terjadi perebutan kekuasaan. Jaka Tingkir yang telah menjadi penguasa di kerajaan Pajang, segera mengambil alih kekuaaan, karena pewaris tahta kerajaan bernama Sunan Prawoto tewas di bunuh oleh Aria Penangsang, kemenakannya sendiri yang ketika itu menjadi penguasa Jipang. Setelah mengambil alih kekuasaan, Jaka Tingkir meminta agar semua pusaka kerajaan dipindahkan ke kerajaan Pajang. Jaka Tingkir yang bergelar Sultan Adiwijaya, adalah seorang penguasa yang sangat berpengaruh pada masa itu. Pada masanya, Islam berkembang dengan pesat terutama di pedalaman. Karena pindahnya pusat kekuasaan dari pesisir ke pedalaman Pulau Jawa.
Pada masanya, Jaka Tingkir berusaha memperluas wilayah kekuasaannya ke pedalaman, hingga ke arah timur daerah Madiun, di aliran anak sungai Bengawan Solo. Setelah itu, secara berturut-turut ia dapat menaklukan Blora tahun 1554 M, dan Kediri pada tahun 1577 M. kemudian pada tahun1581 M, Jaka Tingkir mendapat pengakuan sebagai raja Islam dari raja-raja yang berkuasa di Jawa Timur. Pada masa kepemimpinannya terdapat pula perkembangan peradaban Islam di Jawa, terutama sastra dan kesenian yang memang sebelumnya telah maju pada masa kerajaan Demak.
Sultan Pajang meninggal pada tahun 1587 M, setelah berkuasa selama 41 tahun. Ia dimakamkan di desa Butuh, sebelah barat taman kerajaan Pajang. Posisinya sebagai raja di kerajaan Pajang digantikan oleh menantunya bernama Aria Pangiri (Sultan Ngawantipura). Sementara anak Jaka Tingkir bernama Pangeran Benawa (Sultan Prabuwijaya) diangkat sebagai penguasa di Jipang. Pangeran Benawa merasa tidak puas karena keinginannya menjadi raja. Untuk itu, ia meminta bantuan kepada Senopati Mataram, untuk mengusir Aria Pangiri dari Pajang. Maka pada tahun 1588 M, usaha itu berhasil. Sebagai balas jasa, tahta itu akan diserahkan kepada Senopati Mataram. Tetapi Senopati tidak dapat meninggalkan Mataram. Ia menginginkan agar pusaka kerajaan dibawa ke Mataram sebagai symbol penyerahan kekuasaan. Meskipun begitu, pengeran Benowo tetap menjadi raja yang berada di bawah perlindungan Mataram.
Perjalanan sejarah kerajaan Pajang berakhir pada tahun 1618 M, Ketika Pajang berusaha melawan kekuatan Mataram pada masa pemerintahan Sultan Agung. Rajanya melarikan diri ke Giri dan Surabaya.  

3.     Kerajaan Islam Mataram
Kerajaan Mataram Islam, Kerajaan ini dipimpin suatu dinasti keturunan Ki Ageng Sela dan Ki Ageng Pemanahan, yang mengklaim sebagai suatu cabang ningrat keturunan penguasa Majapahit. Asal-usulnya adalah suatu Kadipaten di bawah Kesultanan Pajang, berpusat di "Bumi Mentaok" yang diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan sebagai hadiah atas jasanya. Raja berdaulat pertama adalah Sutawijaya (Panembahan Senapati), putra dari Ki Ageng Pemanahan.
Sutawijaya, ia memerintah dari tahun 1575-1601. Penguasa kerajaan Mataram Islam selanjutnya adalah Masjolang atau Panembahan Sedo Krapyak. Ia memerintah dari tahun 1601-1613. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Mataram Islam terus menaklukkan daerah-daerah pantai di sekitarnya. Namun, ia gugur dalam usahanya menyatukan Kerajaan Mataram Islam.
Raja Mataram Islam berikutnya adalah Sultan Agung Hanyokrokusumo. Ia memerintah di Mataram dari tahun 1613-1645. Ia merupakan raja terbesar Kerajaan Mataram Islam yang mempunyai cita-cita menyatukan Pulau Jawa. Pada masa Sultan Agung perdagangan di Mataram Islam semakin melemah, sehingga pelayaran dan
perdagangan menjadi mundur. Pada tahun 1628-1629, Sultan Agung ingin menguasai Batavia, ia pun mengirim pasukan yang dipimpin oleh Baureksa dan dibantu oleh Adipati Ukur serta Suro Agul-Agul, tapi usaha itu gagal. Sultan Agung wafat pada tahun 1645 dan dimakamkan di Imogiri.
Beliau digantikan oleh putranya yang bergelar Amangkurat I. Amangkurat memerintah dari tahun 1645-1677. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Mataram menjalin hubungandengan Belanda, orang-orang Belanda diperkenankan untuk membangun Benteng dikerajaan Mataram. Namun, pendirian benteng dan tindakan sewenang-wenanganBelanda akhirnya menyulutkan rasa tidak puas dari beberapa kalangan di KerajaanMataram terhadap pemerintahan Amangkurat I. Di antaranya dari PangeranTrunajaya dari Madura dengan dibantu para bupati di daerah pesisir pantai, Pangeran Trunajaya melakukan pemberontakan.
Dalam peperangan di ibu kota Kerajaan Mataram, Amangkurat I menderita luka-lula. Ia dilarikan ke Tegalwangi dan meninggal disana. Pemberontakantersebut akhirnya dapat di padamkan olehBelanda. Raja Amangkurat I wafat dan digantikan oleh Amangkurat II. Ia memerintah dari tahun 1677-1703. Pada masa pemerintahannya, Belanda menguasai hamper sebagian besar wilayah Kerajaan Mataram. Amangkurat II sendiri menyingkir ke daerah pedesaan dan mendirikan ibu kota Kerajaan Mataram baru di desa Wonokerto yang diberi nama Kartasura. Amangkurat II wafatpada tahun 1703.
Setelah Amangkurat II wafat, berdasarkan perjanjian Giyanti pada tahun 1755, Kerajaan Mataram terbagi menjad dua, yaitu daerah kesultanan Yogyakrta yang di perintah oleh Raja Mangkubumi yang bergelar Hamengkubuwono I, dan kesultanan Surakarta diperintah oleh Susuhunan Pakubowono III. Pada tahun 1757, berdasarkan perjanjian Salatiga, Kerajaan Mataram dipecah lagi menjadi tiga daerah, yaitu Kesultanan Yogyakarta, Kasuhunan Surakarta, dan Mangkunegara. Daerah Mangkunegara diperintah oleh Mas Said yang bergelar Pangeran Adipati Arya Mangkunegara.
Pada tahun 1813, Kesultanan Yogyakarta dibagi menjadi dua kerajaan, yaitu kesultanan Yogyakarta dan kerajaan Pakualaman. Kerajaan Pakualaman diperintah oleh Paku Alam yang semula adalah Adipati Kesultanan Yogyakarta. Dengan demikian kerajaan Mataram akhirnya terbagi menjadi empat kerajaan kecil, yakni Kesultanan Yogyakarta, Kesuhunan Surakarta, Kerajaan Mangkunegara dan kerajaan Pakualaman.
Kehidupan ekonomi kerajaan Mataram Islam adalah agraris yang banyak menghasilkan beras dan kemudian hasilnya diekspor ke Kerajaan Malaka, Untuk meningkatkan hasil produksi beras Sultan Agung memindahkan para petani ke daerah Karawang yang subur hal ini dilakukan juga untuk persiapan menyerang Batavia.
Peristiwa penting
Ø  1558 - Ki Ageng Pemanahan dihadiahi wilayah Mataram oleh Sultan Pajang Adiwijaya atas jasanya mengalahkan Arya Penangsang.
Ø  1577 - Ki Ageng Pemanahan membangun istananya di Pasargede atau Kotagede.
Ø  1584 - Ki Ageng Pemanahan meninggal. Sultan Pajang mengangkat Sutawijaya, putra Ki Ageng Pemanahan sebagai penguasa baru di Mataram, bergelar "Ngabehi Loring Pasar" (karena rumahnya di utara pasar).
Ø  1587 - Pasukan Kesultanan Pajang yang akan menyerbu Mataram porak-poranda diterjang badai letusan Gunung Merapi. Sutawijaya dan pasukannya selamat.
Ø  1588 - Mataram menjadi kerajaan dengan Sutawijaya sebagai Sultan, bergelar "Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama" artinya Panglima Perang dan Ulama Pengatur Kehidupan Beragama.
Ø  1601 - Panembahan Senopati wafat dan digantikan putranya, Mas Jolang yang bergelar Panembahan Hanyakrawati dan kemudian dikenal sebagai "Panembahan Seda ing Krapyak" karena wafat saat berburu (jawa: krapyak).
Ø  1613 - Mas Jolang wafat, kemudian digantikan oleh putranya Pangeran Aryo Martoputro. Karena sering sakit, kemudian digantikan oleh kakaknya Raden Mas Rangsang. Gelar pertama yang digunakan adalah Panembahan Hanyakrakusuma atau "Prabu Pandita Hanyakrakusuma". Setelah Menaklukkan Madura beliau menggunakan gelar "Susuhunan Hanyakrakusuma". Terakhir setelah 1640-an beliau menggunakan gelar bergelar "Sultan Agung Senapati Ingalaga Abdurrahman"
Ø  1645 - Sultan Agung wafat dan digantikan putranya Susuhunan Amangkurat I.
Ø  1645 - 1677 - Pertentangan dan perpecahan dalam keluarga kerajaan Mataram, yang dimanfaatkan oleh VOC.
Ø  1677 - Trunajaya merangsek menuju Ibukota Pleret. Susuhunan Amangkurat I mangkat. Putra Mahkota dilantik menjadi Susuhunan Amangkurat II di pengasingan. Pangeran Puger yang diserahi tanggung jawab atas ibukota Pleret mulai memerintah dengan gelar Susuhunan Ing Ngalaga.
Ø  1680 - Susuhunan Amangkurat II memindahkan ibukota ke Kartasura.
Ø  1681 - Pangeran Puger diturunkan dari tahta Pleret.
Ø  1703 - Susuhunan Amangkurat III wafat. Putra mahkota diangkat menjadi Susuhunan Amangkurat III.
Ø  1704 - Dengan bantuan VOC Pangeran Puger ditahtakan sebagai Susuhunan Paku Buwono I. Awal Perang Tahta I (1704-1708). Susuhunan Amangkurat III membentuk pemerintahan pengasingan.
Ø  1708 - Susuhunan Amangkurat III ditangkap dan dibuang ke Srilanka sampai wafatnya pada 1734.
Ø  1719 - Susuhunan Paku Buwono I meninggal dan digantikan putra mahkota dengan gelar Susuhunan Amangkurat IV atau Prabu Mangkurat Jawa. Awal Perang Tahta II (1719-1723).
Ø  1726 - Susuhunan Amangkurat IV meninggal dan digantikan Putra Mahkota yang bergelar Susuhunan Paku Buwono II.
Ø  1742 - Ibukota Kartasura dikuasai pemberontak. Susuhunan Paku Buwana II berada dalam pengasingan.
Ø  1743 - Dengan bantuan VOC Ibukota Kartasura berhasil direbut dari tangan pemberontak dengan keadaan luluh lantak. Sebuah perjanjian sangat berat (menggadaikan kedaulatan Mataram kepada VOC selama belum dapat melunasi hutang biaya perang) bagi Mataram dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II sebagai imbalan atas bantuan VOC.
Ø  1745 - Susuhunan Paku Buwana II membangun ibukota baru di desa Sala di tepian Bengawan Beton.
Ø  1746 - Susuhunan Paku Buwana II secara resmi menempati ibukota baru yang dinamai Surakarta. Konflik Istana menyebabkan saudara Susuhunan, P. Mangkubumi, meninggalkan istana. Meletus Perang Tahta III yang berlangsung lebih dari 10 tahun (1746-1757) dan mencabik Kerajaan Mataram menjadi dua Kerajaan besar dan satu kerajaan kecil.
Ø  1749 - 11 Desember Susuhunan Paku Buwono II menandatangani penyerahan kedaulatan Mataram kepada VOC. Namun secara de facto Mataram baru dapat ditundukkan sepenuhnya pada 183012 Desember Di Yogyakarta, P. Mangkubumi diproklamirkan sebagai Susuhunan Paku Buwono oleh para pengikutnya. 15 Desember van Hohendorff mengumumkan Putra Mahkota sebagai Susuhunan Paku Buwono III.
Ø  1752 - Mangkubumi berhasil menggerakkan pemberontakan di provinsi-provinsi Pasisiran (daerah pantura Jawa) mulai dari Banten sampai Madura. Perpecahan Mangkubumi-RM Said.
Ø  1754 - Nicolas Hartingh menyerukan gencatan senjata dan perdamaian. 23 September, Nota Kesepahaman Mangkubumi-Hartingh. 4 November, PB III meratifikasi nota kesepahaman. Batavia walau keberatan tidak punya pilihan lain selain meratifikasi nota yang sama.
Ø  1755 - 13 Februari Puncak perpecahan terjadi, ditandai dengan Perjanjian Giyanti yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Kesunanan Surakarta dan Kesultanan YogyakartaPangeran Mangkubumi menjadi Sultan atas Kesultanan Yogyakarta dengan gelar "Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing-Ngalaga Ngabdurakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah" atau lebih populer dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I.
Ø  1757 - Perpecahan kembali melanda Mataram. R.M. Said diangkat sebagai penguasa atas sebuah kepangeranan, Praja Mangkunegaran yang terlepas dari Kesunanan Surakarta dengan gelar "Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangku Nagara Senopati Ing Ayudha".
Ø  1788 - Susuhunan Paku Buwono III mangkat.
Ø  1792 - Sultan Hamengku Buwono I wafat.
Ø  1795 - KGPAA Mangku Nagara I meninggal.
Ø  1799 - Voc dibubarkan
Ø  1813 - Perpecahan kembali melanda Mataram. P. Nata Kusuma diangkat sebagai penguasa atas sebuah kepangeranan, Kadipaten Paku Alaman yang terlepas dari Kesultanan Yogyakarta dengan gelar "Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam".
Ø  1830 - Akhir perang Diponegoro. Seluruh daerah Manca nagara Yogyakarta dan Surakarta dirampas Belanda. 27 September, Perjanjian Klaten menentukan tapal yang tetap antara Surakarta dan Yogyakarta dan membagi secara permanen Kerajaan Mataram ditandatangani oleh Sasradiningrat, Pepatih Dalem Surakarta, dan Danurejo, Pepatih Dalem Yogyakarta. Mataram secara de facto dan de yure dikuasai oleh Hindia Belanda.

4.     Kerajaan Islam Cirebon
Kesultanan islam cirebon merupakan kerajaan islam pertama di Jawa Barat, kesultanan Cirebon juga merupakan kerajaan ternama di Jawa Barat pada abad ke-15 dan 16 Masehi, dan merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antar pulau. Lokasinya di pantai utara pulau Jawa yang merupakan perbatasan antara Jawa Tengah  dan Jawa Barat, membuatnya menjadi pelabuhan dan "jembatan" antara kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga tercipta suatu kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi kebudayaan Jawa  maupun kebudayaan Sunda. Kerajaan ini didirikan oleh Sunan Gunung Jati.
Cirebon pada awalnya adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda: campuran), karena di sana bercampur para pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, dan mata pencaharian yang berbeda-beda untuk bertempat tinggal atau berdagang.
Mengingat pada awalnya sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah sebagai nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai serta pembuatan terasi, petis, dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang) dari udang rebon inilah berkembanglah sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda:, air rebon) yang kemudian menjadi Cirebon.
Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.
Daerah kecil ini dulu berada di bawah kekuasaan Pakuan Pajajaran. Raja pejajaran hanya menempatkan seorang juru labuhan yang bernama Pangeran Walangsungsang. Ketika berhasil memajukan cirebon, ia telah memeluk agama Islam. Akan tetapi orang berhasil meninggikan status kerajaaan adalah Sunan Gunung Jati, pengganti dan kemenakan dari WalangSungsang.
Selain kemenakan, Sunan Gunung jati juga memiliki hubungan darah dengan raja pajajaran yang bernama Prabu siliwangi. Pada tahun 1479 M, kedudukannya kemudian digantikan putra adiknya, Nyai Rarasantang dari hasil perkawinannya dengan Syarif Abdullah dari Mesir, yakni Syarif Hidayatullah (1448-1568) yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah.
Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada Kesultanan Cirebon dimulailah oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti raja-raja Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten serta penyebar agama Islam di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten. Setelah Sunan Gunung Jati wafat, terjadilah kekosongan jabatan pimpinan tertinggi kerajaan Islam Cirebon. Pada mulanya calon kuat pengganti Sunan Gunung Jati ialah Pangeran Dipati Carbon, Putra Pangeran Pasarean, cucu Sunan Gunung Jati. Namun, Pangeran Dipati Carbon meninggal lebih dahulu pada tahun 1565.
Dari Cirebon sunan Gunung Jati menyebarkan Islam ke daerah-daerah lain di jawa barat seperti Majalengka,Kuningan,Kawali (Galuh),Sunda kelapa dan Banten. Ketika ia kembali ke Cirebon, Banten diserahkan kepada anaknya yang bernama Sultan Hasanudin.
Setelah Gunung Jati wafat, Posisinya digantikan oleh cicitnya yang bernama Pangeran Ratu atau Panembahan Ratu. 

5.     Kerajaan Islam Banten
Kesultanan Banten didirikan oleh Sunan Gunung Jati pada tahun 1526 atas bantuan Fatahilah, yang tengah memimpin tentara Demak dan Cirebon guna merebut wilayah Pajajaran dan penyebaran Islam di Jawaa Barat. Kerika akan kembali ke Cirebon, Banten diserahkan kepada putranya bernama Sultan Hasanudin.
Berkembangnya kerajaan Islam di Banten didorong oleh banyaknya kapal pedagang yang lewat diperairan Banten. Banten yang terletak di ulau Jawa bagian barat, dekat Selat Sunda menjadi daerah strategis, terutama sejak kejatuhan Portugis pada tahun 1511. Sejak itu, banyak saudagar Islam yang membawa barang dagangannya dari wilayah Indonesia bagian timur, tidak mau lagi singgah di Malaka. Mereka tidak mau berniaga dengan orang Portugis yang berlain agama. Dengan demikian, secara perlahan namn pasti, Banten menjadi tempat persinggahan pertama bagi para pedagang yang datang dari berbagai penjuru.
Sultan Hasanudin memerintah pada tahun 1552-1570 M, mula-mula Banten berada dalam kekuasaan Kerajaan Demak tetapi ketika di Demak terjadi kekacauan, Sultan Hasandin menyatakan Banten bebas dari kekuasaan raja Demak. Pada masa Hasanudin terjadi penyebaran Islam ke daerah Lampung. Selain itu, juga terjadi hubungan persahabatan dengan Sultan Aceh yang menguasai wilayah Indrapura. Bahkan hubungan itu diperkuat dengan pernikahan Sultan Hasanudin dengan putri Indrapura. Setelah beberapa lama, perkembangan agama Islam di Lampung dan Bengkulu makin maju. Masjid-masjid dan tempat pendidikan Islam bermunculan di kedua daerah itu.
Setelah Sultan Hasanudin wafat pada tahun 1570, pemerintahan di lanutkan oleh anaknya yang bernama Maulana Yusuf. Ia memerintah sejak tahun 1570-1580. Pada tahun 1579, Maulana yusuf mulai melakukan penyebaran agama Islam ke wilayah Pajajaran Raja Pajajaran yang terahir bernama Prabu Sedah meninggal dunia, ketika menahan serangan tentara Banten yang dipimpin oleh Sultan Maulana Yusuf. Dengan demikian, berakhirlah Kerajaan Hindu-Budha di Jawa Barat. Setelah sukses menguasai wilayah jawa Barat, pada tahun 1580, Maulana Yusuf meninggal dunia, posisinya digantikan oleh putranya bernama Maulana Muhammad.
Maulana Muhammad sebagai Sultan Banken ke III, memerintah tahun 1580-1596 M. Ia bergelar Kanjeng Ratu Banten, naik tahta berusia 9 tahun. Oleh Karena itu, Kerajaan dipegang oleh Mengkubumi dibantu oleh Tuan Kadi Besar. Pada tahun 1596 M, sewaktu berusia 25 tahun, Maulana Muhammad mulai memegang kekuasaanya sendiri. Pada waktu itu, ia juga mengadakan serangan terhadap Kerajaan Islam Palembang yang Ki Gede Ing Suro (Kiai Gede Suro). Hal ini terjadi karena hasutan Pangeran Mas, putra Aria Pangiri yang masih kemenakannya sendiri. Ki Gede Ing Suro memerintah Palembang sebagai Adipati yang setia kepada kerajaan Islam Mataram. Dalam penyerangan ke Palembang ini, Maulana Muhammad tewas terbunuh.
Setelah Maulana Muhammad wafat, yang menjadi Sultan Banten ialah putranya yang bernama Abdul Mafakhir. Karena masih bayi, maka pemerintaha dipegang oleh Mengkubumi Ranamanggala. Ia menjadi wali banten tahun 1608-1624. Pada masa Ranamanggala, banten mencapai kebesaran dan kejayaannya. Pada waktu itu, Banten mempunyai pelabuhan dagang yang besar, yaitu Banten dan Jayakarta. Untuk menjalankan pemerintaha di wilayah Jayakarta, Ranamanggala mengangkat Wijayakrama sebagai Adipati.
Ketika itu, pelabuha Jayakarta sudah ramai dikunjungi bangsa Eropa, seperti Belanda, Inggris, portugis dan lain-lain. Pada waktu Belanda akan mendirikan loji di Banten, Ranamanggala menolaknya. Kemudian belanda meminta izin pada Wijayakrama untuk mendirikan loji di Jayakarta dan Wijayakrama mengizinkannya. Akhirnya pada tahun 1612 M berdirilah loji Belanda di Jayakarta, letaknya ditepi Sungai Ciliwung berhadapan dengan loji Inggris.
Pada tahun 1618 M Belanda mengusir Inggris dari Jayakarta. Tindakan ini dibiarkan oleh Wijayakrama dan kenyataan Belanda semakin sewenang-wenang. Hal ini diketahui oleh Ranamanngala, maka Wijayakrama ditangkap dan dibawa ke Banten pada tahun 1619 M untuk ditahan, karena membiarkan perbuatan Belanda.
Tindakan Ra namanggala ini membuat Belanda merasa khawatir. Untuk itu, maka Jan Pieter Z. Coen memintan bantuan tentara Belanda yang ada di Ambon. Bantuan dikirim dengan jumlah personil sekitar 1000 orang. Bantuan ini dimanfaatkan oleh JP. Coen untuk menyerang Jayakarta. Maka pada tahun 1619 M, kota Jayakarta dibakar sampai habis, dan diatas reruntuhannya dbangun kota baru dengan nama Batavia.
Pada tahun 1624 M, Ranamanggala wafat, sehingga keadaan Banten menjadi  lemah dan mulai bangkit lagi ketika dipegang oleh Abdul Fatah yang dikenal dengan sebutan Sultan Ageng Tirtayasa yang memerintah 1651-1682 M. Sultan Ageng Tirtayasa sangat anti Belanda. Sikapnya ini didukung oleh Syekh Yusuf Al-Makassary, seorang ulama dari Makasar, yang melarikan diri ke Banten karena Maksar diserang belanda pada tahun 1667 M. tapi sikapnya ini tidak disetujui oleh anaknya Abdul Kahar, yang terkenal dengan sebutan Sultan Haji.
Perselisihan paham antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan anaknya, Sultan Haji dimanfaatkan Belanda untuk menyerang Banten. Untuk melawan ayahnya, Sultan Haji meminta bantuan Belanda dan perminaan ini dikabulkan. Oleh karena itu, pada tahun 1681 M, terjadilah peperangan yang sangat hebat. Dalam pertempuran itu, kemenangan berada di tangan Sultan Haji, karena dia mendapat bantuan dari Belanda. Sultan Ageng Tirtayasa ditangkap dan dibawa ke Batavia pada tahun 1683 M kemudian meninggal pada tahun 1692 dalam tahanan Belanda.
Setelah itu, pemerintahan berada ditangan Sultan Haji yang pro Belanda. Tetapi dibawah pemerintahannya, Banten tidak berkembang, karena selalu diatur Belanda. Oleh karena itu, ketika Deandels menjadi Gubernur Jendral di Indonesia pad tahun 1801-1811 M, kerajaan Islam Banten dihapuskan. Sejak itu, kerajaan Islam Banten tidak terdengar lagi dalam percaturan dunia Islam, khususnya di Nusantara.

0 komentar:

Template by - Miqronik - 2008