Rabu, 14 Mei 2014

Motivasi : AFI (Kompetisi Menyanyi) vs Olimpiade Fisika


AFI (Kompetisi Menyanyi) vs Olimpiade Fisika
*Indonesia Ohh.... Indonesia........*  
Pernah dengar nama Yudistira Virgus? Atau, Edbert Jarvis Sie? Atau, Ardiansyah? Andika Putra? Atau, Ali Sucipto?
Kalau Anda menganggap nama-nama itu terasa asing di telinga, jangan berkecil hati. Maklumlah, mereka memang tidak cukup diekspos media massa. Jangankan tampang, nama mereka saja tidak hadir di halaman satu surat kabar, di halaman depan tabloid dan majalah, apalagi di prime time siaran televisi dan radio kita.
Dibandingkan Veri, Kia, dan Mawar (tiga finalis AFI), misalnya, pemberitaan soal Yudistira dan kawan-kawan bisa dibilang 'cuma seujung kuku'. Padahal, prestasi mereka sangat membanggakan. Mereka berlima semua siswa SMA membawa Indonesia menempati peringkat lima besar dalam Olimpiade Fisika Internasional di Pohang, Korea Selatan.
Dalam ajang prestisius yang diikuti 73 negara ini, Indonesia hanya berada di bawah Belarusia, Cina, Iran, dan Kanada. Negara-negara besar seperti AS, Jepang, atau Jerman dilibas. Yudistira merebut medali emas untuk kategori total ujian teori dan praktik (eksperimen), sementara keempat teman lainnya merebut medali perak dan perunggu.
Tapi, begitulah Indonesia.

Pencapaian dalam kemampuan menguasai atau mengembangkan ilmu pengetahuan tidak memperoleh perhatian besar. Remaja Indonesia, sejak kecil, diajarkan untuk justru mengagumi hal-hal tidak mendasar.  Lihat saja bagaimana saat ini ribuan remaja Indonesia berduyun-duyun mengikuti berbagai ajang kompetisi adu tarik suara atau bahkan adu kecantikan. Impian 'menjadi bintang' terus dipompakan ke benak bangsa ini.
Program seperti AFI dan semacamnya tidaklah buruk. Tapi, skalanya sudah menjadi begitu besar dan sama sekali tidak proporsional sehingga bisa menyesatkan rentang pilihan yang terbayang di benak bangsa ini. Indonesia adalah negara miskin dan terbelakang. Salah satu syarat utama untuk mengatasi ketertinggalan ini adalah penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena itu, negara ini membutuhkan penghibur (entertainer) dalam jumlah 'secukupnya' saja.
Kita tentu perlu mensyukuri lahir dan tumbuhnya sebuah generasi muda yang cantik, gagah, pintar menari dan bernyanyi, atau berakting; namun kita memerlukan lebih banyak lagi orang pintar. Kepintaran rupanya memang tak dianggap punya daya tarik tinggi. Akibatnya, media massa tidak memberi tempat cukup bagi prestasi yang terkait dengan 'keunggulan otak'.
Tanpa disengaja, media tidak mengondisikan masyarakat untuk menghargai 'kepintaran'. Bahkan, di siaran televisi, lazim kita melihat bagaimana kaum ilmuwan ditampilkan secara karikatural: sebagai profesor pikun beruban dan berkacamata tebal yang tidak punya kehidupan sosial. Pasokan sumber daya manusia unggul di negara ini dipinggirkan.
Tentu saja bukan cuma media massa yang berkonstribusi. Kita misalnya juga tidak melihat upaya serius pemerintah untuk memelihara dan mengembangkan kualitas brainware ini. Yudistira dan kawan-kawan pun bisa saja akhirnya tidak akan dapat dimanfaatkan untuk kemajuan bangsa ini karena mereka keburu digaet pihak asing.
Yudistira misalnya dikabarkan sudah memperoleh beasiswa dari sebuah universitas teknologi di AS. Dikabarkan pula dua anggota tim Olimpiade Fisika sudah diterima Nanyang University of Singapura (NUS). Maklumlah, perguruan tinggi asing ini aktif mendekati para calon ilmuwan terbaik yang mereka dapati di ajang internasional, sembari mengiming-imingi beasiswa, jaminan hidup, dan bahkan jaminan kerja.
Sementara Indonesia, hanya mengamati mereka dari jauh. Tidak pernah dengar nama Yudistira Virgus? Tidak apa-apa, kok. Ia cuma pemenang medali emas di Olimpiade Internasional!
Best regards,
Ade Armando (Republika Online)

0 komentar:

Template by - Miqronik - 2008