Rabu, 23 April 2014

Cerpen (Cerita Pendek) : Baju Hitam


BAJU HITAM
            Hampir semua murid di SD Pelopor takut pada Pak Sanusi. Selain galak, pak penjaga itu juga berpenampilan misterius. Ia jarang berbicara, jarang tersenyum, dan setiap hari memakai baju serta celana hitam.
            Semua murid berusaha untuk tidak berurusan dengan Pak Sanusi. Mereka masih teringat cerita Banu. Banu pernah mengempeskan ban sepeda Pak Sanusi. Ia kesal, tidak diijinkan masuk gerbang sekolah karena terlambat. Akibatnya? beberapa hari kemudian, kelinci peliharaan Banu di sekolah mati mendadak. Banu menduga Pak Sanusi yang membunuh kelincinya itu. Selain itu, masih banyak cerita lain tentang Pak Sanusi yang membuat banyak murid ketakutan.
            Pada suatu pagi, Shiva terlambat sekolah tiba di sekolah pagi itu jalan yang biasa dilewati Shiva terendam banjir. Shiva telah berusaha menembus banjir, namun tetap saja ia terlambat. Roknya basah kuyup. Tubuhnya juga kedinginan. Shiva nekat masuk sekolah karena hari itu ada ulangan matematika.
Shiva memperhatikan sekeliling sekolah yang sepi. Murid-murid lain pasti sudah masuk kelas semua. “Hmm, mungkin aku bisa menyelinap masuk lewat pintu halaman belakang, pikir Shiva.
Shiva kemudian berjalan ke belakang sekolah. Pagarnya lumayan tinggi. Di balik pagar, banyak umbuh semak berduri. Dengan susah payah Shiva memanjat pagar itu. Perlahan ia pun menuruni pagar, untuk masuk ke dalam halaman. Tiba-tiba kakinya tergelincir. Tangan yang sibuk memegangi tas, tidak sempat meraih sesuatu untuk pegangan. “WAAA…” Shiva jatuh terjerembab di atas semak berduri. Baju seragamnya sobek tersangkut pagar. Isi tasnya berhamburan keluar.
“Aduuuh… Duh…,” Shiva mengaduh. Tangan dan kakinya lecet dan penuh goresan. Badannya sakit semua. Belum sempat Shiva bangkit, terdenganr langkah kaki seseorang. Shiva hampir pingsan ketika melihat orang berpakaian hitam itu.Pak Sanusi! Dia memandang Shiva dengan tatapan tajam.
“Kamu pasti terlambat dan berusaha menyelinap masuk sekolah, ya?!” tangannya menggeram marah.
Shiva tak sanggup berkata-kata. Ia mengira Pak Sanusi akan memarahinya habis-habisan. Tetapi ternyata Pak Sanusi membantunyaberdiri dan membawanya ke rumah pondok di halaman sekolah. Pak Sanusi membersihkan lukanya dengan alcohol.
“Sudah selesai,” kata Pak Sanusi sambil membereskan sisa-sisa kapas an alcohol. Wajahnya masih terlihat kesal. “Apa kamu tidak tahu, memanjat pagar setinggi itu benar-benar berbahaya?! Kamu harus berjanji untuk tidak mengulangi lagi! Kalau tulangmu patah, bagaimana?!” bentak Pak Sanusi
“Maa… Ma… af, Pak,” jawab Shiva tergagap.
“Sebaiknya sekarang kamu pulang saja. Bajumu basah dan sobek. Badanmu sekarang pasti sekarang sakit sekali,” lanjut Pak Sanusi. Dia kemudian pergi ke dapur dan kembali dengan segelas teh manis hangat. “Sekarang kamu minum dulu, ya. Setelah itu Bapak akan mengantarmu pulang.”
“Terima kasih, Pak,” kata Shiva lalu meminum tehnya.
Shiva memperhatikan isi pondok tempat Pak Sanusi tinggal. Di sudut ruangan terlihat setumpuk pakaian yang baru di setrika. Semuanya berwarna hitam. Rasa penasaran Shiva tiba-tiba muncul.
“Nggg, Pak, kenapa Bapak selalu menggunakan baju warna hitam? Apakah tidak bosan?” Tanya Shiva.
Wajah Pak Sanusi seketika berubah kaku. “Hitam adalah warna duka. Saya selalu memakai warna hitam karena saya selalu berduka,” jawab Pak Sanusi singkat.
“Berduka? Berduka karena apa?” Tanya Shiva lagi. Ia lalu merasa ciut takut ketika Pak Sanusi menatapnya tajam.
Di luar dugaan Shiva, Pak Sanusi lalu bercerita dengan sedih.
“Istri Bapak meninggal ketika melahirkan seorang anak perempuan. Anak itu Bapak namakan Ayu, sebab ia sangat ayu. Tetapi Ayu meninggal lima tahun lalu karena sakit. Bapak sekarang tinggal sendiri. Bapak berdukaetiap hari karena kepergian orang-orang yang Bapak sayangi.”
Shiva terdiam. Dia tidak menyangka. Ternyata di balik sikap misterius Pak Sanusi, ada kisah yang sangat menydihkan. Shiva dapat memahami kesedihan Pak Sanusi, karena dia pun telah kehilangan ibunya dua tahun silam.
“Ibu saya juga sudah meninggal,” kata Shiva perlahan. Pak Sanusi terlihat agak terkejut, tapi Shiva terus melanjutkan ceritanya. “Tapi Ayah bilang, kita tidak boleh terus bersedih karena ditinggal orang yang kita sayangi. Di luar sana masih ada orang lain yang juga menyayangi kita. Bapak juga masih memiliki anak-anak lain, yaitu kami. Bapak bisa menganggap saya dan murid-murid lain sebagai anak, sekaligus teman Bapak. Dengan begitu, Bapak tidak akan kesepian lagi.”
Shiva melihat mata Pak Sanusi berkaca-kaca.
Setelah kejadian itu, Shiva lama tidak melihat Pak Sanusi. Kabarnya Pak Sanusi sakit.
Hingga pada suatu hari, Shiva melihat Pak Sanusi. Ia sedang membantu Dito memompa ban sepeda Dito yang kempes. Beberapa hari selanjutnya, Pak Sanusi terlihat membantu anak-anak lain membuat mainan dari busa sabun. Dan di hari-hari berikutnya, Pak Sanusi semakin sering terlihat bermain dengan murid-murid lain.
Pada suatu hari, Shiva mendapat kejutan. Ia melihat Pak Sanusi memakai baju berwarna biru muda! Shiva tersenyum. Sepertinya masa berduka Pak Sanusi sudah berlalu. Sekarang tidak ada lagi baju hitam untuk Pak Sanusi.

0 komentar:

Template by - Miqronik - 2008