BAJU
HITAM
Hampir
semua murid di SD Pelopor takut pada Pak Sanusi. Selain galak, pak penjaga itu
juga berpenampilan misterius. Ia jarang berbicara, jarang tersenyum, dan setiap
hari memakai baju serta celana hitam.
Semua murid berusaha untuk tidak
berurusan dengan Pak Sanusi. Mereka masih teringat cerita Banu. Banu pernah
mengempeskan ban sepeda Pak Sanusi. Ia kesal, tidak diijinkan masuk gerbang
sekolah karena terlambat. Akibatnya? beberapa hari kemudian, kelinci peliharaan
Banu di sekolah mati mendadak. Banu menduga Pak Sanusi yang membunuh kelincinya
itu. Selain itu, masih banyak cerita lain tentang Pak Sanusi yang membuat
banyak murid ketakutan.
Pada suatu pagi, Shiva terlambat
sekolah tiba di sekolah pagi itu jalan yang biasa dilewati Shiva terendam banjir.
Shiva telah berusaha menembus banjir, namun tetap saja ia terlambat. Roknya
basah kuyup. Tubuhnya juga kedinginan. Shiva nekat masuk sekolah karena hari
itu ada ulangan matematika.
Shiva
memperhatikan sekeliling sekolah yang sepi. Murid-murid lain pasti sudah masuk
kelas semua. “Hmm, mungkin aku bisa menyelinap masuk lewat pintu halaman
belakang, pikir Shiva.
Shiva
kemudian berjalan ke belakang sekolah. Pagarnya lumayan tinggi. Di balik pagar,
banyak umbuh semak berduri. Dengan susah payah Shiva memanjat pagar itu.
Perlahan ia pun menuruni pagar, untuk masuk ke dalam halaman. Tiba-tiba kakinya
tergelincir. Tangan yang sibuk memegangi tas, tidak sempat meraih sesuatu untuk
pegangan. “WAAA…” Shiva jatuh terjerembab di atas semak berduri. Baju seragamnya
sobek tersangkut pagar. Isi tasnya berhamburan keluar.
“Aduuuh…
Duh…,” Shiva mengaduh. Tangan dan kakinya lecet dan penuh goresan. Badannya
sakit semua. Belum sempat Shiva bangkit, terdenganr langkah kaki seseorang. Shiva
hampir pingsan ketika melihat orang berpakaian hitam itu.Pak Sanusi! Dia
memandang Shiva dengan tatapan tajam.
“Kamu
pasti terlambat dan berusaha menyelinap masuk sekolah, ya?!” tangannya
menggeram marah.
Shiva
tak sanggup berkata-kata. Ia mengira Pak Sanusi akan memarahinya habis-habisan.
Tetapi ternyata Pak Sanusi membantunyaberdiri dan membawanya ke rumah pondok di
halaman sekolah. Pak Sanusi membersihkan lukanya dengan alcohol.
“Sudah
selesai,” kata Pak Sanusi sambil membereskan sisa-sisa kapas an alcohol.
Wajahnya masih terlihat kesal. “Apa kamu tidak tahu, memanjat pagar setinggi
itu benar-benar berbahaya?! Kamu harus berjanji untuk tidak mengulangi lagi!
Kalau tulangmu patah, bagaimana?!” bentak Pak Sanusi
“Maa…
Ma… af, Pak,” jawab Shiva tergagap.
“Sebaiknya
sekarang kamu pulang saja. Bajumu basah dan sobek. Badanmu sekarang pasti
sekarang sakit sekali,” lanjut Pak Sanusi. Dia kemudian pergi ke dapur dan
kembali dengan segelas teh manis hangat. “Sekarang kamu minum dulu, ya. Setelah
itu Bapak akan mengantarmu pulang.”
“Terima
kasih, Pak,” kata Shiva lalu meminum tehnya.
Shiva
memperhatikan isi pondok tempat Pak Sanusi tinggal. Di sudut ruangan terlihat
setumpuk pakaian yang baru di setrika. Semuanya berwarna hitam. Rasa penasaran Shiva
tiba-tiba muncul.
“Nggg,
Pak, kenapa Bapak selalu menggunakan baju warna hitam? Apakah tidak bosan?”
Tanya Shiva.
Wajah
Pak Sanusi seketika berubah kaku. “Hitam adalah warna duka. Saya selalu memakai
warna hitam karena saya selalu berduka,” jawab Pak Sanusi singkat.
“Berduka?
Berduka karena apa?” Tanya Shiva lagi. Ia lalu merasa ciut takut ketika Pak
Sanusi menatapnya tajam.
Di
luar dugaan Shiva, Pak Sanusi lalu bercerita dengan sedih.
“Istri
Bapak meninggal ketika melahirkan seorang anak perempuan. Anak itu Bapak
namakan Ayu, sebab ia sangat ayu. Tetapi Ayu meninggal lima tahun lalu karena
sakit. Bapak sekarang tinggal sendiri. Bapak berdukaetiap hari karena kepergian
orang-orang yang Bapak sayangi.”
Shiva
terdiam. Dia tidak menyangka. Ternyata di balik sikap misterius Pak Sanusi, ada
kisah yang sangat menydihkan. Shiva dapat memahami kesedihan Pak Sanusi, karena
dia pun telah kehilangan ibunya dua tahun silam.
“Ibu
saya juga sudah meninggal,” kata Shiva perlahan. Pak Sanusi terlihat agak
terkejut, tapi Shiva terus melanjutkan ceritanya. “Tapi Ayah bilang, kita tidak
boleh terus bersedih karena ditinggal orang yang kita sayangi. Di luar sana
masih ada orang lain yang juga menyayangi kita. Bapak juga masih memiliki
anak-anak lain, yaitu kami. Bapak bisa menganggap saya dan murid-murid lain
sebagai anak, sekaligus teman Bapak. Dengan begitu, Bapak tidak akan kesepian
lagi.”
Shiva
melihat mata Pak Sanusi berkaca-kaca.
Setelah
kejadian itu, Shiva lama tidak melihat Pak Sanusi. Kabarnya Pak Sanusi sakit.
Hingga
pada suatu hari, Shiva melihat Pak Sanusi. Ia sedang membantu Dito memompa ban
sepeda Dito yang kempes. Beberapa hari selanjutnya, Pak Sanusi terlihat
membantu anak-anak lain membuat mainan dari busa sabun. Dan di hari-hari
berikutnya, Pak Sanusi semakin sering terlihat bermain dengan murid-murid lain.
Pada
suatu hari, Shiva mendapat kejutan. Ia melihat Pak Sanusi memakai baju berwarna
biru muda! Shiva tersenyum. Sepertinya masa berduka Pak Sanusi sudah berlalu.
Sekarang tidak ada lagi baju hitam untuk Pak Sanusi.
0 komentar:
Posting Komentar